Penglihatan manusia tentu tidak bisa
menjangkau benda yang berada di balik tembok atau di dalam tanah. Contoh
kecil di atas menunjukkan betapa indera manusia mempunyai keterbatasan
pengelihatan. Oleh karena itu, teramat naif jika ada orang-orang yang
menolak hal-hal ghaib dengan mendewakan panca inderanya.
Merunut
sejarahnya, secara psikologis, umat manusia –sejak dahulu kala–
mempunyai keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu yang bersifat
ghaib, khususnya bila berkaitan dengan peristiwa dan kejadian di masa
datang. Saking penasarannya, terkadang mereka menyempatkan (baca:
mengharuskan) diri untuk mendatangi tukang ramal; baik dari kalangan
ahli nujum, dukun, ataupun ’orang pintar’. Ada kalanya dengan cara
mengait-ngaitkan sesuatu yang dilihat ataupun didengar, dengan kesialan
atau keberhasilan nasib yang akan dialaminya (tathayyur). Dan ada
kalanya pula dengan meyakini ta’bir (takwil) mimpi yang diramal oleh
orang pintar –menurut mereka. Tragisnya, orang yang dianggap mengerti
akan hal ini justru mendapatkan posisi kunci di tengah masyarakatnya dan
meraih gelar kehormatan semacam orang pintar dan ahli supranatural.
Bahkan gelar kebesaran ‘wali’ pun acap kali disematkan untuk mereka.
Wallahul musta’an.
Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi pada
masyarakat awam yang identik dengan buta huruf dan penduduk pedesaan
semata. Namun kalangan ‘intelektual’ dan modernis pun ternyata turut
terkontaminasi dengan itu semua. Tidaklah mengherankan jika kemudian
berbagai macam ‘ilmu’ yang konon dapat menyingkap perkara-perkara ghaib
meruak ke permukaan dan banyak dipelajari oleh sebagian masyarakat,
meskipun dalam prakteknya kerap kali harus bekerja sama dengan jin
(baca: setan).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh
berkata: “Yang paling banyak terjadi pada umat ini adalah pemberitaan
jin kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia tentang berbagai
peristiwa ghaib di muka bumi ini1. Orang yang tidak tahu (proses ini,
-pen) menyangka bahwa itu adalah kasyaf dan karamah. Bahkan banyak orang
yang tertipu dengannya dan beranggapan bahwa pembawa berita ghaib
(dukun, paranormal, orang pintar dll, -pen) tersebut sebagai wali Allah,
padahal hakekatnya adalah wali setan. Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَامَعْشَرَ
الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ
مِنَ اْلإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا
أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِيْنَ
فِيْهَا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيْمٌ عَلِيْمٌ
“Dan
(ingatlah) akan suatu hari ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengumpulkan mereka semua, (dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman):
‘Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kalian telah banyak menyesatkan
manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya
Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan
dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang telah
Engkau tentukan’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Neraka itulah
tempat tinggal kalian, dan kalian kekal abadi di dalamnya, kecuali bila
Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabbmu
Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 128) (Fathul Majid,
hal. 353)
Rahasia Alam Ghaib
Alam ghaib menyimpan
rahasia tersendiri. Rahasia alam ghaib, ada yang Allah khususkan untuk
diri-Nya semata dan tidak diberitakan kepada seorang pun dari hamba-Nya,
sebagaimana dalam firman-Nya:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ
يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا
تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ
اْلأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِيْ كِتَابٍ مُبِيْنٍ
“Dan
hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang ada di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
kegelapan bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah atau pun yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al-An’am:
59)
Tentang hal ini, Nabi Nuh ‘alaihissalam berkata, sebagaimana dalam firman Allah:
وَلاَ أَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْب
“Dan
aku tidak mengatakan kepada kalian (bahwa): ‘Aku mempunyai
gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui
yang ghaib’.” (Hud: 31)
Demikian pula Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah untuk mengatakan:
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ
وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا
مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah: ‘Aku tidak mampu menarik kemanfaatan
bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku
berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa
kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa
berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Di
antara perkara ghaib yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan untuk
diri-Nya semata adalah apa yang terkandung dalam firman-Nya:
إِنَّ
اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا
فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا
تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan tentang (kapan
terjadinya) hari kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang bisa
mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia dapatkan di hari esok. Dan
tiada seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Hal
ini sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika ditanya Malaikat Jibril tentang kapan terjadinya hari
kiamat:
فِيْ خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ. ثُمَّ تَلاَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ
السَّاعَةِ} الآية
“…termasuk dari lima perkara (ghaib) yang
tidak diketahui kecuali oleh Allah semata. Kemudian Nabi membaca ayat
(dari surat Luqman tersebut,-pen.).” (HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya no.
50, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Berdasarkan hadits ini, tidak ada
celah sedikit pun bagi seorang pun untuk mengetahui (dengan pasti) salah
satu dari lima perkara (ghaib) tersebut. Dan Nabi telah menafsirkan
firman Allah surat Al-An’am: 59 (di atas) dengan lima perkara ghaib
(yang terdapat dalam Luqman: 34, -pen.) tersebut, sebagaimana yang
terdapat dalam Shahih (Al-Bukhari, -pen.).” (Fathul Bari, karya
Al-Hafizh Ibnu Hajar 1/150-151)
Di antara perkara ghaib, ada
yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para Rasul yang
diridhai-Nya, termasuk di antaranya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Allah berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ
“(Dialah
Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib, maka Dia
tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang perkara ghaib itu,
kecuali yang Dia ridhai dari kalangan Rasul.” (Al-Jin: 26-27)
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian
perkara-perkara ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang
dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya.” (Ali Imran: 179)
Maka
dari itulah, perkara ghaib tidak mungkin diketahui secara pasti dan
benar kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya.
Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang mengaku mengetahui perkara
ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari keduanya?
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengaku bahwa dirinya
mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah pendusta dalam
pengakuannya tersebut.” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar,
1/151)
Apakah jin (setan) mengetahui perkara ghaib? Jawabannya
adalah: Tidak. Jin tidak mengerti perkara ghaib, sebagaimana yang Allah
nyatakan:
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى
مَوْتِهِ إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ
تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا
لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ
“Maka tatkala Kami telah
menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka
(tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka
tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya
mereka mengetahui perkara ghaib tentulah mereka tidak akan berada dalam
kerja keras (untuk Sulaiman) yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Adapun
apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia
(dukun, paranormal, orang pintar, dll.) tentang perkara ghaib, maka itu
semata-mata dari hasil mencuri pendengaran di langit2. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ. إِلاَّ مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِيْنٌ
“Dan
Kami menjaganya (langit) dari tiap-tiap setan yang terkutuk. Kecuali
setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat)
lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (Al-Hijr: 17-18)
Hikmah Tertutupnya Tabir Alam Ghaib bagi Umat Manusia
Para
pembaca, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memutuskan dan menentukan
suatu perkara kecuali (pasti) selalu ada hikmah di baliknya. Demikian
pula halnya dengan alam ghaib, yang tabirnya tertutup bagi umat manusia.
Di antara hikmahnya adalah sebagai ujian bagi umat manusia, apakah
mereka termasuk orang yang beriman dengan perkara ghaib yang Allah dan
Rasul-Nya beritakan tersebut, ataukah justru mengingkarinya?!
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Bahwasanya alam barzah
(kubur) termasuk perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca
indera. Jika bisa dijangkau oleh panca indera, niscaya tidak ada lagi
fungsi keimanan terhadap perkara ghaib (yang Allah dan Rasul-Nya
beritakan, -pen.), dan tidak ada lagi perbedaan antara orang-orang yang
mengimaninya dengan yang mengingkarinya.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal.
109)
Di antara hikmahnya pula adalah untuk keseimbangan hidup
umat manusia antara suka dan duka, cemas dan harapan di dalam mengarungi
kehidupan dunia ini. Cobalah anda renungkan, bagaimanakah jika
seandainya setiap orang mengetahui semua yang akan terjadi? Tentu
kehidupannya akan sangat kacau dan tidak mendapatkan ketentraman.
Bagaimana tidak?! Ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa akhir
hidupnya adalah menderita, baik karena ditimpa penyakit kronis,
kecelakaan, dibunuh, dan lain sebagainya. Tentu hidupnya akan diselimuti
dengan duka dan kecemasan. Si sakit misalnya, ketika mengetahui dengan
pasti bahwa dia akan mati karena sakitnya itu (dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala) dan tidak ada lagi harapan untuk hidup, tentunya
keputus-asaanlah yang selalu merundungnya. Akan tetapi ketika dia tidak
mengetahuinya dengan pasti, maka harapan untuk menikmati hari esok masih
terbentang di hadapannya dan proses pengobatan pun akan selalu
diupayakannya.
Ketika umat manusia mengetahui segala yang
terjadi di alam ghaib, bisa melihat malaikat dan jin (setan) dalam wujud
aslinya, bisa mengetahui orang-orang yang diadzab di kubur dan
sejenisnya, niscaya ketenangan hidup tidak akan didapatkannya. Demikian
pula ketika masing-masing orang mengetahui dengan pasti apa yang
tersimpan di hati selainnya, maka kehidupan ini akan terasa sebagai
belenggu yang memberatkan. Karena berbagai keburukan yang ada pada hati
masing-masing orang dapat dirasakannya.
Di lain kondisi, ketika
seseorang mengetahui dengan pasti bahwa dia selalu beruntung, niscaya
hal itu bisa menjadikan dia sombong dan bersikap semena-mena terhadap
sesamanya. Tidaklah Allah menutup tabir rahasia alam ghaib kepada kita,
kecuali karena kasih sayang dan kebijaksanaan-Nya yang tiada tara.
Sehingga sudah seharusnya bagi kita untuk mensyukuri apa yang
ditentukan-Nya tersebut.
Fenomena Umat tentang Alam Ghaib
Para
pembaca, tentunya anda sering mendengar info seputar alam ghaib dan
berbagai peristiwanya. Lebih-lebih belakangan ini, ketika ‘misteri alam
ghaib’ benar-benar dipromosikan dan dijadikan ajang komoditi bisnis yang
cukup menjanjikan. Dengan sekian bumbu klenik dan racikan mistiknya,
maka tersajilah aneka menu yang kental dengan bau syirik dan khurafat.
Tak luput…akhirnya televisi, surat kabar, dan media cetak/elektronik
lainnya pun menjadi publik mediator modernnya.
Sementara di lain
pihak, ada orang-orang yang mengingkari perkara ghaib. Dasar pemikiran
mereka bertumpu pada keilmuan (baca: akal) semata tanpa mempedulikan
norma-norma keimanan. Nyaris, sikap mengedepankan akal daripada dalil
sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjadi simbol mereka. Tak pelak, akhirnya terjerumus pula ke
dalam jurang kesesatan dikarenakan pengingkaran mereka terhadap
perkara-perkara ghaib yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan Rasul-Nya tersebut. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok3:
1.
Orang-orang yang mengingkari semua perkara ghaib, termasuk adanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala Pencipta alam semesta ini. Mereka adalah kaum
atheis (komunis) dari kalangan Dahriyyah (yang menyatakan bahwa alam
semesta ini tercipta dengan sendirinya, -pen.). Demikian pula
orang-orang yang menapak jejak mereka dari kalangan atheis Sufi semacam
Ibnu Arabi At-Tha`i penulis kitab Fushusul Hikam dan cs-nya yang
mengklaim bahwa wujud ini hanya satu, dan hakekat wujud Allah adalah
semua yang ada di alam semesta ini (yakni menyatu dengan makhluk), yang
hakekat dari pemikiran tersebut adalah peniadaan Dzat Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Kemudian mereka campakkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan apa yang beliau bawa, dengan suatu estimasi bahwa kewalian
lebih baik dari kenabian dan khatimul auliya` (penutup para wali) lebih
utama dari khatimul anbiya` (penutup para Nabi), bahkan dari semua Nabi.
2. Ahlul wahmi wat takhyil, yaitu orang-orang yang menyatakan
bahwasanya para Nabi telah memberitakan tentang Allah Subhanahu wa
Ta’ala, hari kiamat, surga dan neraka, bahkan malaikat, dengan gambaran
yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Para Nabi tersebut menggambarkan
kepada manusia (tentang semua itu) dari khayalan mereka; bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala bertubuh besar, tubuh manusia akan dibangkitkan di
hari kiamat, manusia akan mendapat kenikmatan dan merasakan adzab,
padahal kenyataannya tidak demikian. Kedustaan ini, mereka (para Nabi)
lakukan demi kamashlahatan umat, karena tidak ada cara yang lebih
mendatangkan mashlahat dalam mendakwahi mereka kecuali dengan cara
tersebut. Inilah pemikiran Ibnu Sina dan yang sejalan dengannya.
3.
Ahlut tahrif wat ta`wil, yaitu orang-orang yang menyatakan bahwasanya
para Nabi tidaklah memaksudkan (baca: memberitakan) kecuali sesuatu yang
memang benar adanya, hanya saja kenyataan yang sebenarnya dari semua
itu adalah apa yang bisa dijangkau oleh akal. Inilah pemikiran ahli
kalam dan selainnya dari kalangan Mu’tazilah, Kullabiyyah, Salimiyyah,
Karramiyyah, Syi’ah dll.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa
sikap mengedepankan akal atas dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan semacam ini
tidak bisa dibenarkan, bahkan sangat berbahaya. Asy-Syahrastani
berkata: “Ketahuilah, bahwasanya syubhat pertama yang menimpa makhluk
adalah syubhat iblis -la’natullah-. Pemicunya adalah mengedepankan akal
daripada nash, dan mengekor hawa nafsu untuk menentang perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala serta kesombongannya terhadap bahan yang Allah
ciptakan darinya (yakni api) atas bahan yang Allah ciptakan darinya Adam
‘alaihissalam (tanah liat).” (Al-Milal wan Nihal, hal. 14)
Bahkan
perumpaan akal yang ‘didewakan’ itu; “Laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatangi
‘air itu’, dia tidak mendapatinya sedikit pun Dan didapatinya
(ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat
perhitungan-Nya. Atau laksana kegelapan yang gulita di lautan yang
dalam, yang diliputi oleh ombak, dan di atasnya ombak (pula), di atasnya
(lagi) awan; gelap gulita yang tindih bertindih. Apabila dia
mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa
yang tiada diberi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tiadalah dia
mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 39 dan 40)
Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Abdillah Ar-Razi, salah seorang tokoh mereka (Mu’tazilah):
Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu.4
Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelek itu adalah kesesatan
Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami
Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin)
Tidaklah didapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
Melainkan kumpulan statemen-statemen (yang tak menentu)
Aku
(Ar-Razi) telah memperhatikan dengan seksama berbagai seluk-beluk ilmu
kalam dan metodologi filsafat, maka kulihat semua itu tidaklah dapat
menyembuhkan orang yang sakit dan tidak pula memuaskan orang yang
dahaga, dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode
Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah 1/160)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Engkau akan mendapati kebanyakan para intelek di bidang ilmu kalam,
filsafat dan bahkan tasawuf, yang tidak mengindahkan apa yang dibawa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai orang-orang yang
bingung. Sebagaimana yang dikatakan Asy Syahrastani:
“Sungguh aku telah keliling ke ma’had-ma’had (filsafat) tersebut
Dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya
Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu
Dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya.”
(Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, 1/159)
Sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah Terhadap Alam Ghaib
Para
pembaca, Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Agama sempurna dan
penyempurna bagi ajaran para Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, agama yang telah memadukan antara konsep keilmuan
yang benar dengan konsep keimanan yang lurus. Keilmuan yang berasaskan
keimanan, dan keimanan yang ditunjang oleh keilmuan.
Adapun
keilmuan semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan, maka
kesudahannya adalah kebinasaan, sebagaimana halnya orang-orang Yahudi
dan yang sejenisnya. Demikian pula keimanan (termasuk di dalamnya
amalan) semata tanpa mempedulikan keilmuan, kesudahannya adalah
kesesatan, sebagaimana halnya orang-orang Nashrani dan yang sejenisnya.
Perpaduan antara dua konsep inilah yang menjadikan Islam sebagai agama
wasathan (adil dan pilihan) dan bersih dari segala bentuk sikap
berlebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena
itu, di antara para imam penulis kitab hadits yang menggunakan metode
penyusunan berdasarkan babnya, ada yang memulai penyusunannya dengan
(menyebutkan hadits-hadits tentang) pokok keilmuan dan keimanan.
Sebagaimana yang dilakukan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya,
yang mana beliau memulainya dengan Kitab Bad`il Wahyi (awal mula
turunnya wahyu); yang merinci tentang kondisi turunnya ilmu dan iman
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mengiringinya
dengan Kitabul Iman yang merupakan asas keyakinan terhadap apa yang
dibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu diiringi dengan
Kitabul Ilmi yang merupakan perangkat untuk mengenal apa yang dibawa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikianlah tertib penyusunan
yang hakiki. Begitu pula Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi…” (Majmu’ Fatawa
2/4)
Para pembaca, alam ghaib ibarat alam yang gelap gulita,
sedangkan Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ibarat
dua cahaya yang terang benderang. Dengan dua cahaya itulah berbagai
peristiwa dan kejadian di alam ghaib tersebut menjadi jelas dan terang.
Atas dasar itulah, setiap pribadi muslim wajib untuk mengembalikannya
kepada firman Allah (Al-Qur`an) dan petunjuk Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (Al-Hadits).
Bila demikian, berarti semua
perkara ghaib haruslah ditimbang dengan timbangan Islam yaitu; Al-Qur`an
dan Al-Hadits dengan pemahaman para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Jika perkara ghaib (baca: yang dianggap ghaib) ternyata tidak
ada keterangannya di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka keberadaannya
tidak boleh diimani dan diyakini. Dan jika perkara ghaib tersebut
diterangkan di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, baik berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa di masa lampau maupun di masa datang, serta berbagai
keadaan di akhirat dll, maka keberadaannya harus diimani dan diyakini,
walaupun pandangan mata dan akal kita tidak menjangkaunya.
Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Iman kepada perkara ghaib ini mencakup
keimanan kepada semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dari peristiwa-peristiwa ghaib
di masa lampau dan di masa yang akan datang, berbagai keadaan di hari
kiamat, dan tentang hakekat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
(Taisir Al Karimirrahman hal. 24)
Beriman dengan (adanya)
perkara ghaib yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa. Sedangkan tidak beriman
dengan perkara ghaib tersebut merupakan ciri orang kafir atau ahli
bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ
لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ
بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman
kepada perkara ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian
rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3)
Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Hakekat iman adalah
keyakinan yang sempurna terhadap semua yang diberitakan para Rasul, yang
mencakup ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang dimaksud di sini
bukanlah yang berkaitan dengan perkara yang bisa dijangkau panca indra,
karena dalam perkara yang seperti ini tidak berbeda antara muslim
dengan kafir. Akan tetapi permasalahannya berkaitan dengan perkara ghaib
yang tidak bisa kita lihat dan saksikan (saat ini). Kita mengimaninya,
karena (adanya) berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah keimanan yang membedakan
antara muslim dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah
dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, seorang mukmin
(wajib) mengimani semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik yang
dapat disaksikan oleh panca inderanya maupun yang tidak dapat
disaksikannya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan nalarnya maupun
yang tidak dapat dijangkaunya.
Hal ini berbeda dengan kaum
zanadiqah (yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran,
-pen.) dan para pendusta perkara ghaib (yang telah diberitakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta jangkauan ilmunya yang
pendek, akhirnya mereka dustakan segala apa yang tidak diketahuinya.
Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan bersihlah akal-akal
(pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan petunjuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 23)
Al-Imam
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu berkata: “(Setiap muslim, -pen.)
wajib beriman kepada semua yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan apa yang dinukil secara shahih dari beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, baik perkara tersebut dapat dilihat mata maupun yang
bersifat ghaib. Kita mengetahui (baca; meyakini) bahwa semua itu benar,
baik yang dapat dijangkau akal maupun yang tidak bisa dijangkau dan
tidak dimengerti hakekat maknanya.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, karya
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 101)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Berbagai macam berita yang
diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
benar keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat dirasakan oleh
panca indera kita maupun yang bersifat ghaib, baik yang dapat dijangkau
oleh akal kita maupun yang tidak.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 101)
Demikianlah
manhaj (prinsip) yang benar di dalam menyikapi alam ghaib dan berbagai
peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka dia beruntung
dan berada di atas jalan yang lurus. Sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
فَالَّذِيْنَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ
وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُوْنَ
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`an),
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوْحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ
تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيْمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُوْرًا
نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ. صِرَاطِ اللهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ
وَمَا فِي اْلأَرْضِ أَلاَ إِلَى اللهِ تَصِيْرُ اْلأُمُوْرُ
“Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`an) dengan perintah
Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`an)
dan tidak pula mengetahui apakah iman, tetapi Kami menjadikan Al Qur`an
itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa saja yang Kami kehendaki
dari hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya
segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa
hanya kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Asy-Syura: 52-53)
Penutup
Para pembaca, dari bahasan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa:
1.
Setiap muslim wajib beriman dengan (adanya) alam ghaib dan semua
peristiwanya yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan panca indra maupun yang tidak.
2. Mengedepankan akal dalam permasalahan semacam ini merupakan pangkal kesesatan.
3.
Setiap muslim wajib memahami berita yang datang dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya tentang alam ghaib dan peristiwanya, dengan
pemahaman para shahabat Rasulullah (as-salafush shalih), karena ia
merupakan jalan yang lurus. Dan tidak dengan pemahaman ahli kalam,
filsafat, atheis sufi, dan bahkan atheis dahriyyah yang menyesatkan.
Ini adalah pengetahuan tanpa memandang dari sudut mana kita kita melihat Dunia Alam Gaib itu Nyata adanya.